novel Catatan Hati Seorang Isteri

Catatan Hati Seorang Isteri

“Apa salahnya? Jika suami diibaratkan teko… isinya boleh saja tumpah ke mana-mana, yang penting kan tekonya balik ke rumah!”

Laki-laki.

Tetap saja saya tidak mengerti.
31 Desember 2003
Saat Cinta Berpaling Darimu
“Suami adalah tipe lelaki serius, pendiam dan sangat dewasa. Lalu bagaimana ada kontak bernama ” Spongebob “
di listnya?”

Saya tidak ingin cemburu Selama menikah, saya pikir tidak ada kamus cemburu dalam rumah tangga kami. Seperti keluarga lain yang berusaha menerapkan kehidupan religius dalam keseharian, kami percaya prinsip saling jujur dan percaya merupakan hal yang harus ada.

Apakah suami saya tidak tampan?

Tentu saja bukan karena itu. Meskipun saya memilihnya bukan karena wajah atau penampilan luar, saya mengakui betapa menariknya suami. Ini terbukti dari banyak gadis di kampusnya dulu yang jatuh hati, bahkan terang-terangan mengatakan itu ketika walimahan. Di hadapan kami, dua orang gadis mengatakan sempat naksir kepada suami saya, semasa di kampus.

Saya yang mendengarkan kalimat yang disampaikan serius meski dengan nada bergurau itu hanya tersenyum.

Usia saya masih terbilang muda, hanya dua puluh dua tahun, tetapi tidak sedikitpun rasa cemburu menyelinap.

Apakah saya terlalu percaya diri? Saya kira tidak.

Sebaliknya saya cukup tahu diri dengan wajah yang pas-pasan. Entahlah, tapi saya yakin suami mencintai saya apa adanya. Dan caranya mengungkapkan itu selama ini jelas memiliki andil besar dalam ketenangan saya.

Sebelum menikah saya tidak pernah berpacaran, memang sempat dekat dengan satu dua lawan jenis, tapi hubungan kami lebih seperti sahabat ketimbang pacar.

Sekalipun ketika itu saya belum berjilbab, tetapi kesadaran menjaga diri saya memang cukup tinggi. Saya tidak mau berduaan di tempat sepi, bahkan ketika dibonceng motor pun, tangan saya bertahan hanya memegang bawah jok motor, dan tidak pernah melingkar manis di pinggang teman pria.

Otomatis ketika menikah, maka suami menjadi lelaki pertama di luar keluarga yang memiliki kontak fisik. Dan saya percaya, hal inilah yang dengan cepat membangun cinta yang sebelumnya tidak ada di antara saya dan suami.
Maklum kami menikah tidak melalui proses pacaran.
Apalagi suami benar-benar memperlakukan saya seperti ratu. Tidak jarang dia memberi surprise dengan menyiapkan sarapan pagi ketika dia bangun lebih awal, dan kejutan-kejutan manis lainnya.

Dia adalah sosok suami dan ayah yang baik. Tipe family man yang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah selepas pulang kerja dan tidak pernah keluyuran.
Begitulah, hingga anak keempat lahir, tidak ada cemburu diantara kami. Rumah tangga tetap ten-tram. Demi komitmen kepada keluarga, sejak anak pertama lahir, saya memutuskan bekerja di rumah. Perkerjaan saya sebagai illustrator buku anak cukup memungkinkan untuk itu.

Semua terasa sempurna. Saya kira itu jugalah yang ada di gambaran orang luar tentang keluarga kami. Bahkan kerap saya atau suami menjadi tempat curhat keluarga lain.

Beberapa istri yang dihantui oleh kecemburuan karena suami mereka yang sewaktu menikah cukup baik keislamannya, tetapi sekarang mulai tampak ‘genit’ selalu saya nasehati untuk tetap berpikir positif dan tidak berburuk sangka terhadap suami. “Barangkali pekerjaan suamimu menuntut itu.”

“Lingkungan pergaulannya memang kalangan Professional, saya kira dia hanya berusaha tampil lebih luwes di kalangan umum.”

Saran lain yang kerap lahir dari lisan saya, “Nikmati saja…kan bagus suami merawat diri. Istri-istri lain banyak lho yang ngeluh karena suami mereka sama sekali tidak memedulikan penampilan ketika keluar rumah.”

Dan saya bahagia jika para istri yang cemburu dan khawatir suami mereka diam-diam sudah menikah lagi, kemudian bisa mengusap air mata dan pulang dengan lebih tenang.
Karir yang melesat
Seiring waktu, karir suami melesat jauh lebih baik dari yang bisa kami harapkan. Ketika menikah, penghasilan suami hanya dua atau tiga ratus ribu rupiah perbulan, dari pekerjaannya di bidang edu-taintment. Tetapi sekarang meningkat berpuluh lipat, seiring bertambahnya anak kami.

Beberapa teman sesama muslimah sempat menggoda penampilan suami yang menurut mereka makin modis. Ada juga yang membisiki saya dengan kalimat serius,

“Hati-hati puber kedua suami lho, dik…”

Seperti biasa saya hanya tertawa. Tentu saja mata saya tidak luput terhadap perubahan penampilan suami. Tetapi kepercayaan terhadap lelaki itu tidak pernah berkurang sedikit pun. Sebab kecuali penampilan, tidak ada yang berubah. Perhatiannya terhadap saya dan anak-anak tidak berubah. Kejut an-kejutan manisnya masih ada. Kami masih sering jalan dan makan malam berdua seperti layaknya pengantin baru.

Bicara soal ibadah?
Alhamdulillah suami masih menjaga ibadahnya seperti ketika dia masih aktifis rohis di kampus. Shalatnya masih tepat waktu. Tidak hanya itu, kebiasaan shalat malamnya tidak hilang. Pun puasa Senin Kamis. Jadi apa yang harus saya khawatirkan? Setiap hari lelaki itu tetap pulang tepat waktu. Memang ada beberapa kali dalam sebulan, agenda keluar kota, biasanya ke Bogor, tetapi semua murni terkait pekerjaan.

Jadi tidak ada alasan bagi saya untuk cemburu hanya karena dia sekarang lebih rapi, memilih baju dan sepatu yang bermerek, atau rutin menyemprot parfum sebelum keluar rumah.
Saya tidak ingin hati mengambil alih logika. Apalagi sejauh ini perasaan saya masih tentram dan sama sekali tidak ada kecurigaan apa-apa. Sekalipun suami memegang dua handphone kemana-mana, saya merasa tidak perlu mencurigai apalagi terdorong untuk mengecek siapa saja yang diteleponnya seharian itu, atau mencuri-curi membaca deretan SMS yang diterimanya.

Hanya istri-istri yang tidak percaya pada kekuatan hubungan dengan pasangannyalah yang melakukan hal demikian, pikir saya.

Berita suami si A selingkuh. Atau suami si B dan C berpoligami,tidak juga membuat saya menjadi istri yang paranoid. Cemburu bagi saya hanya menyesakkan hati.
Sementara dengan hati suram, bagaimana saya bisa maksimal merawat anak-anak dan suami? Belum lagi mengerjakan order-order ilustrasi yang sering datang tiba-tiba?

Bisa-bisa gara-gara istri yang cemburuan suami menjadi pusing dan jenuh berada di rumah. Dan saya menjaga betul, agar suami senantiasa nyaman dan merasa teduh sepulang dari kantor
Perempuan misterius
Alhamdulillah logika saya sejauh ini selalu menang.

Konon diantara muslimah semasa di kampus, saya termasuk yang porsi logikanya sering disamakan dengan lelaki. Ketika muslimah lain menangis, ngarnbek dan marah-marah, saya masih bisa berpikir rasional dan melihat masalah dengan jernih. Suami tahu itu dan kerap memberi pujian.

Suatu hari ponsel suami yang CDMA tertinggal.

Kebetulan saya baru saja ganti handset karena ha-ndphone hilang sehari sebelumnya. Karena memerlukan beberapa kontak, tanpa ragu saya pun meraih handphone suami.
Sebab biasanya suami juga menyimpan beberapa nomor kontak saya.

Awalnya saya tidak terusik untuk membuka in-box SMS
suami. Hanya menelusuri deret huruf kontak yang saya perlukan. Hingga kemudian saya menatap satu nama yang menurut saya ganjil berada di sana.